Beranda | Artikel
Hak-Hak Allah Terlalu Agung
Selasa, 3 Desember 2013

space-disaster-1680x1050-wallpaper-4625

al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

Hakikat syukur adalah mengakui limpahan nikmat -dari Allah- dan berusaha menunaikan pengabdian [kepada-Nya]. Barangsiapa yang perkara ini semakin banyak muncul dari dirinya maka dia disebut sebagai syakuur/orang yang pandai bersyukur.

Dari sanalah, maka Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan (yang artinya), “Betapa sedikit diantara hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.”

[lihat Fath al-Bari, tahqiq Syaibatul Hamdi Juz 3 hal. 20]

Thalq bin Habib rahimahullah berkata:

Sesungguhnya hak-hak Allah itu terlalu agung sehingga para hamba tidak akan bisa menunaikan hak-hak Allah itu secara sepenuhnya. Sebab, nikmat-nikmat dari-Nya amat besar sehingga terlalu banyak untuk bisa dihingga/dihitung.

Meskipun demikian, mereka selalu berusaha untuk menjadi orang-orang yang patuh di pagi hari dan menjadi orang-orang yang selalu bertaubat di sore hari.

[lihat Syarh Shahih al-Bukhari oleh Ibnu Baththal, Juz 3 hal. 122]

Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata:

Sungguh apabila aku mendapatkan kesehatan dan kelapangan kemudian aku menunaikan syukur itu jauh lebih aku sukai daripada aku tertimpa cobaan/musibah sehingga aku harus bersabar menghadapinya.

[lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 441]

Abu Abdillah ar-Razi rahimahullah berkata:

Sufyan bin ‘Uyainah berkata kepadaku, “Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya diantara bentuk syukur atas nikmat-nikmat Allah adalah dengan engkau memuji-Nya atas hal itu dan engkau gunakan nikmat-nikmat itu di atas ketaatan kepada-Nya. Oleh sebab itu bukanlah orang yang bersyukur kepada Allah orang yang menggunakan nikmat-nikmat dari-Nya justru untuk melakukan maksiat/kedurhakaan kepada-Nya.”

[lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 441]

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata:

Orang yang bersyukur itu adalah orang yang mengetahui/menyadari bahwa nikmat itu berasal dari Allah ta’ala. Allah memberikan nikmat itu kepadanya untuk melihat; Bagaimana dia bersyukur? Bagaimana dirinya bersabar?

[lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 441]

Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata:

Barangsiapa yang memandang tidak ada kenikmatan dari Allah kepada dirinya selain hanya dalam urusan makanan dan minumannya maka sungguh telah sedikit fikih/ilmunya dan telah datang azab pada dirinya.

[lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 885]

Abu Hazim Salamah bin Dinar rahimahullah berkata:

Setiap kenikmatan yang tidak semakin menambah kedekatan kepada Allah ‘azza  wa jalla maka pada hakikatnya hal itu adalah bencana.

[lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 888]

Abdurrahman bin Auf radhiyallahu’anhu berkata:

Kami diuji dengan kesulitan maka kami pun bisa bersabar, akan tetapi tatkala kami diuji dengan kesenangan maka kami pun tidak bisa bersabar.

[lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 163]

Yazid bin Maisarah rahimahullah berkata:

Tidaklah berbahaya suatu nikmat jika ia dibarengi dengan syukur. Tidaklah berbahaya musibah jika ia dibarengi dengan sabar. Sungguh, musibah yang menimpa pada saat melakukan ketaatan kepada Allah itu jauh lebih baik daripada nikmat yang dirasakan ketika berbuat maksiat kepada Allah.

[lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 164]

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata:

Tidaklah menjadi fakih/ahli ilmu barangsiapa yang tidak bisa menganggap bahwa musibah adalah nikmat [agama] dan kelapangan [dunia] adalah musibah.

[lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 165]

Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata:

Tidaklah aku mengetahui seorang pun kecuali dia pasti tertimpa cobaan. Seorang yang Allah berikan kelapangan pada rizkinya; maka Allah ingin melihat bagaimana dia menunaikan syukur atas hal itu. Dan seorang yang Allah ‘azza wa jalla cabut sebagian dari rizkinya; ketika itu Allah ingin melihat bagaimanakah dia bisa bersabar.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/hak-hak-allah-terlalu-agung/